Jalan Malioboro
adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang
membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos
Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi,
Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan poros Garis
Imajiner Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa obyek bersejarah di
kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung
Agung, Pasar Bringharjo, benteng Vredeburg dan Monumen serangan Oemoem 1
Maret.
Jalan
Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang
menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari
yang menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat
berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka
seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang jalan ini.
Jalan
Malioboro telah membentuk sebuah kawasan tempat berkumpulnya berbagai
komunitas. Dari sekian banyak komunitas yang ada, hanya komunitas
pedagang yang terus eksis hingga kini. Komunitas-komunitas yang lain,
yang dulu memanfaatkan kawasan ini, seperti komunitas budayawan dan
seniman akhirnya hanya kebagian ruang sempit, tergusur aktivitas
perdagangan yang semakin lama semakin menguasai ruang di Malioboro.
Jalan
tersebut dibangun sejak Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan
Hamengku Buwono I, dilengkapi sarana perdagangan berupa pasar
tradisional semenjak tahun 1758. Pasar yang dulunya berupa kawasan yang
banyak tumbuh pohon beringin akhirnya diberi nama Pasar Bringharjo.
Kawasan perdagangan tersebut terus berkembang dan setelah berlalu 248
tahun, akitvitas perdagangan meluas hingga menguasai seluruh kawasan
Malioboro.
Malioboro
diambil dari bahasa sansekerta yang berarti karangan bunga. Dulu, jalan
yang persis membujur ke arah pintu gerbang Keraton Ngayogyakarta selalu
dipenuhi karangan bunga jika Keraton menggelar perhelatan. Karena itu
jalan tersebut diberi nama Malioboro (karangan bunga). Malioboro menjadi
saksi bisu beragam peristiwa penting yang akhirnya banyak mewarnai
perjalanan panjang bangsa Indonesia. Hengkangnya tentara kerjaan Belanda
dari Bumi Pertiwi secara simbolik dilakukan di Jalan Malioboro dan ada
prasastinya yang dapat dilihat sampai sekarang. Di kanan kiri Jalan
Malioboro terdapat banyak bangunan bersejarah, diantaranya Benteng
Vredeburg dan Gedung Agung. Pernah menjadi tempat bersarang komunitas
seniman dan budayawan besar.
Malioboro
memang eksotik. Keeksotikan tersebut tetap berpendar hingga saat ini.
Ikon Kota Yogyakarta menyediakan aneka macam cinderamata khas Jogja.
Perburuan cinderamata sambil berjalan kaki di bahu jalan tempat
mangkalnya ratusan pedagang kaki lima menghadirkan suasana nan romantis.
Semua ada disini, mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik,
hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias
dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta
barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum
yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain.
Bila
sudah cukup puas menyusuri Malioboro, lesehan Malioboro yang mulai buka
menjelang petang dapat dimanfaatkan melepas lelah sambil menikmati
makanan khas Jogja Gudeg. Bagi yang ingin memanjakan mulut dengan menu
lain, juga ada burung dara goreng/bakar, pecel lele, sea food, masakan
Padang dan aneka makan khas lainnya. Sambil menikmati makanan, pengamen
jalanan akan menghibur dengan lagu-lagu hits atau tembang kenangan.
Banyak
cara untuk mencapai Malioboro, para wisatawan dapat naik bus; bus kota
(menggunakan jalur 4) dan bus Transjogja (trayek 3A dan 3B). Semua jenis
bus ini dapat ditemui di Terminal Pusat Giwangan atau halte-halte bus
yang ada di seputar Jogja. Tarif bus kota saat ini Rp 2.000, sedangkan
untuk bus Trans Jogja sebesar Rp 3.000.
0 comments:
Posting Komentar